Sabtu, 23 Juni 2012

Analisa Proksimat Kecap Pedas ABC


BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang
Peluncuran produk Kecap Pedas ABC dinilai Muhammad Kahfi selaku Brand Manager Heinz, sebagai moment yang tepat, dimana harga cabai sedang melambung, kehadiran Kecap Pedas ABC bisa menjadi alternatif bagi para ibu rumah tangga. Selain menjadikan masakan lebih lezat, kecap Pedas ABC ini juga menjadikan pekerjaan di dapur lebih praktis terutama bagi ibu-ibu pekerja yang sibuk. Kecap Pedas ABC sendiri terbuat dari kacang kedelai kuning, gandum, gula merah, serta cabai pilihan yang diproses secara higenis. Kecap yang kita konsumsi sehari-hari dibuat dengan cara fermentasi sehingga mempunyai aroma yang baik. Kecap itu dibuat dengan bantuan jamur/kapang Aspergillus oryzae, Aspergilus niger, Hansenula sp, dan Rhizopus sp. Selain itu kecap dapat juga difermentasi menggunakan bakteri, yaitu Lactobacillus delbucki. Di Indonesia dikenal dua jenis kecap, yaitu kecap manis dan kecap asin. Kecap manis dibuat dari ekstrak kedelai yang ditambah dengan banyak gula.(5)
Bahan dasar pembuatan kecap umumnya adalah kedelai yang memiliki kandungan gizi cukup tinggi, terutama protein dan serat. Ada dua jenis kedelai yang dapat dijadikan bahan baku pembuatan kecap, yaitu kedelai hitam dan kedelai putih. Sejumlah manfaat kesehatan yang dapat diperoleh dari kedelai adalah sebagai antioksidan karena kedelai mengandung senyawa yang disebut isoflavonmengurangi resiko penyakit jantung dengan membantu mengurangi kolesterol LDL (kolesterol "jahat") serta penurunan kemungkinan pembekuan darah, mencegah kanker karena isoflavon bertindak sebagai agen antikanker yang melawan sel-sel kanker, mencegah osteoporosis karena protein kedelai membantu dalam penyerapan yang lebih baik kalsium dalam tulang, mengatasi gejala menopause karena kandungan isoflavon pada kedelai membantu untuk mengatur estrogen dan Menjaga berat badan dengan kandungan serat yang tinggi.(7)
Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan merupakan oligosakarida, polimer dengan derajat polimerisasi 2-10 dan biasanya bersifat larut dalam air yang terdiri dari dua molekul yaitu glukosa dan fruktosa. Gula memberikan flavor dan warna melalui reaksi browning secara non enzimatis pada berbagai jenis makanan. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis dan keadaan makanan atau minuman. Dalam industri pangan, sukrosa diperoleh dari bit atau tebu (Winarno 1997). Gula pereduksi yaitu monosakarida dan disakarida kecuali sukrosa dapat ditunjukkan dengan pereaksi Fehling atau Benedict menghasilkan endapan merah bata (Cu2O). selain pereaksi Benedict dan Fehling, gula pereduksi juga bereaksi positif dengan pereaksi Tollens (Apriyanto et al 1989). Penentuan gula pereduksi selama ini dilakukan dengan metode pengukuran konvensional seperti metode osmometri, polarimetri, dan refraktrometri maupun berdasarkan reaksi gugus fungsional dari senyawa sakarida tersebut (seperti metode Luff-Schoorl, Seliwanoff, Nelson-Somogyi dan lain-lain). Hasil analisisnya adalah kadar gula pereduksi total dan tidak dapat menentukan gula pereduksi secara individual.(6)
Metode Kjeldahl merupakan metode yang sederhana untuk penetapan nitrogen total pada asam amino, protein dan senyawa yang mengandung nitrogen. Analisa protein cara Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga tahapan yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi. Prinsip cara analisis Kjeldahl adalah mula-mula bahan didestruksi dengan asam sulfat pekat menggunakan katalis selenium oksiklorida atau butiran Zn. Amonia yang terjadi ditampung dan dititrasi dengan bantuan indikator. Cara Kjeldahl pada umumnya dapat dibedakan atas dua cara, yaitu cara makro dan semimakro. Metode ini telah banyak mengalami modifikasi. Metode ini cocok digunakan secara semimikro, sebab hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi yang sedikit dan waktu analisa yang pendek. Cara Kjeldahl digunakan untuk menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung, karena yang dianalisis dengan cara ini adalah kadar nitrogennya. Dengan mengalikan hasil analisis tersebut dengan angka konversi 6,25, diperoleh nilai protein dalam bahan makanan itu. Untuk beras, kedelai, dan gandum angka konversi berturut-turut sebagai berikut: 5,95, 5,71, dan 5,83. Angka 6,25 berasal dari angka konversi serum albumin yang biasanya mengandung 16% nitrogen.(14)
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik misalnya asetat, pektat, mallat, dan garam anorganik, misalnya karbonat, fosfat,sulfat, dan nitrat. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya.(1)
Penggunaan bahan tambahan atau zat aditif pada makanan semakin meningkat, terutama setelah adanya penemuan-penemuan termasuk keberhasilan dalam mensintesis bahan kimia baru yang lebih praktis, lebih murah, dan lebih mudah diperoleh. Penambahan bahan tambahan/zat aditif ke dalam makanan merupakan hal yang dipandang perlu untuk meningkatkan mutu suatu produk sehingga mampu bersaing di pasaran. Begitu juga halnya, bahan pengawet yang ada dalam makanan adalah untuk membuat makanan tampak lebih berkualitas,tahan lama, menarik, serta rasa dan teksturnya lebih sempurna.(18) Penggunaan bahan pengawet dapat menjadikan bahan makanan bebas dari kehidupan mikroba baik yang bersifat patogen maupun non pathogen yang dapat menyebabkan kerusakan bahan makanan seperti pembusukan (Tranggono, dkk, 1990). Salah satu bahan pengawet yang sering digunakan dalam makanan adalah asam benzoate (C6H5COOH). Pengawet ini sangat cocok digunakan untuk bahan makanan yang bersifat asam seperti saos tomat. Bahan ini bekerja sangat efektif pada pH 2,5 – 4,0 untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Mekanisme penghambatan mikroba oleh benzoat yaitu mengganggu permeabilitas membran sel, struktur sistem genetik mikroba, dan mengganggu enzim intraseluler (Branen, et. al.,1990).

B.        Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar Belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1.      Apakah kadar gula, kadar abu, kadar protein, kadar garam, kadar total padatan terlarut dan uji kualitatif pada penggunaan bahan pengawet telah memenuhi persyaratan SNI kecap Kedelai?
2.      Apakah perlu dilakukan penetapan kadar air pada sampel kecap pedas ABC?
3.      Apakah kadar pengujian logam berbahaya yang terkandung dalam sampel Kecap Pedas ABC telah memenuhi persyaratan SNI kecap kedelai?
4.      Apakah kandungan cemaran Arsen yang terkandung dalam sampel Kecap Pedas ABC telah memenuhi persyaratan SNI kecap kedelai?
5.      Apakah kandungan cemaran mikroba yang terkandung dalam sampel Kecap Pedas ABC telah memenuhi persyaratan SNI kecap kedelai?

C.    Pembatasan Masalah
Pada praktikum ini dibatasi pada pengujian kadar gula, kadar abu, kadar protein, kadar garam, kadar total padatan terlarut dan uji kualitatif pada penggunaan bahan pengawet apakah telah memenuhi persyaratan SNI kecap Kedelai.

D.    Perumusan Masalah
Apakah kadar gula, kadar abu, kadar protein, kadar garam, kadar total padatan terlarut dan uji kualitatif pada penggunaan bahan pengawet telah memenuhi persyaratan SNI kecap Kedelai?



E.     Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah:
1.      Menentukan kadar pada komposisi Kecap Pedas ABC dan membandingkannya dengan SNI kecap kedelai dalam rangka pengendalian mutu standar produk bahan pangan
2.      Membuktikan mutu atau kualitas suatu produk bahan pangan yang digunakan sehari-hari sehingga menjamin keamanan dan kesehatan konsumen
3.      Mengetahui metode-metode yang tepat dalam melakukan analisis kulitatif maupun kuantitatif suatu bahan pangan

F.     Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai kualitas suatu produk bahan pangan yaitu Kecap Pedas ABC berdasarkan SNI kecap kedelai yang bersumber pada Badan Standardisasi Nasional. Selain itu, praktikum ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada peneliti lain tentang metode-metode yang tepat yang dapat dilakukan dalam pengujian suatu bahan pangan.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.    Penentuan Kadar Gula
a.       Pengertian
Karbohidrat terdapat dalam semua tumbuhan dan hewan dan penting bagikehidupan. Lewat fotosintesis, tumbuhan mengonversi karbon dioksida atmosfer menjadi karbohidrat, terutama selulosa, pati, dan gula. Selulosa adalah blok  pembangun pada dinding sel yang kaku dan jaringan kayu dalam tumbuhan,sedangkan pati adalah bentuk cadangan utama dari karbohidrat untuk nantinyadigunakan sebagai makanan atau sumber energi. Beberapa tumbuhan (tebu dan bitgula) menghasilkan sukrosa.(15) Gula lain, yakni glukosa, merupakan komponen penting dalam darah. Dua gula lainnya, ribosa dan 2-deoksiribosa, ialahkomponen material genetik RNA dan DNA. Karbohidrat lain penting sebagaikomponen koenzim, antibiotik, tulang rawan, cangkang krustasea, dinding sel bakteri, dan membran sel mamalia (Hart dkk., 2003).
Karbohidrat sederhana dapat dipandang sebagai polihidroksi aldehida danketon. Karbohidrat yang paling sederhana adalah monosakarida. Bila suatu gula mempunyai gugus aldehid, gula tersebut merupakan suatu aldosa. Namun, bila gula tersebut mempunyai gugus keto, gula tersebut merupakan suatu ketosa. Suatu monosakarida dikenali dari jumlah atom karbon yang dikandungnya.(17) Monosakarida yang paling banyak dijumpai dalam makanan kita adalah heksosayaitu glukosa dan fruktosa (Bresnick, 1994).Berdasarkan jumlah monomer pembentuk suatu karbohidrat maka dapatdibagi atas tiga golongan besar yaitu monosakarida, disakarida dan polisakarida. Istilah sakarida berasal dari bahasa latin dan mengacu pada rasa manis senyawakarbohidrat sederhana.(24) Monosakarida adalah karbohidrat yang tidak dapatdihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana (Tim Dosen Kimia, 2008).
Monosakarida merupakan karbohidrat sederhana, dalam arti molekulnyahanya terdiri atas beberapa atom karbon saja dan tidak dapat diuraikan dengan cara hidrolisis dalam kondisi lunak menjadi karbohidrat yang lain.(21) Adapun beberapa monosakarida yang penting yakni glukosa, fruktosa, galaktosa dan pentosa (Poedjiadi, 1994). Glukosa adalah suatu aldoheksosa dan sering disebut dekstrosa karenamempunyai sifat dapat memutar cahaya terpolarisasi ke arah kanan. Di alam,glukosa terdapat dalam buah-buahan dan madu lebah. Dalam alam glukosadihasilkan dari reaksi antara karbondioksida dan air dengan bantuan sinar matahari dan klorofil dalam daun. Proses ini disebut fotosintesis dan menghasilkan glukosa yang digunakan untuk pembentukan amilum dan selulosa(Poedjiadi, 1994). Glukosa adalah gula yang mempunyai enam atom karbon dan dengandemikian disebut heksosa. Karbohidrat lima karbon dikenal sebagai pentosa danselanjutnya. Kenyataan bahwa gugus karbonil adalah sebuah aldehida yangditunjukkan dengan menggolongkan glukosa sebagai aldoheksosa. Monosakaridayang amat penting yaitu D-glukosa sering dikenal sebagai dektrosa. (Pine, dkk.,1988). Bentuk terbuka heksosa berada pada keseimbangan dengan bentuk hemiasetal atau hemiketalnya. Glukosa mempunyai bentuk piranosa yang palingdominan dan kedua anomer dan telah diisolasi. (17)
b.      Macam-macam gula
1.      Gula merah
Gula merah atau gula Jawa jenis gula yang dibuat dari nira, yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon keluarga palma, seperti kelapa, aren, dan siwalan. Gula merah yang dipasarkan dalam bentuk cetakan batangan silinder, cetakan setengah bola dan bubuk curah disebut sebagai gula semut(23)
2.      Gula tebu
Gula tebu kebanyakan dipasarkan dalam bentuk gula kristal curah. Pertama tama bahan mentah dihancurkan dan diperas, sarinya dikumpulkan dan disaring, cairan yang terbentuk kemudian ditambahkan bahan tambahan (biasanya menggunakan kalsium oksida) untuk menghilangkan ketidakkemurnian, campuran tersebut kemudian diputihkan dengan belerang dioksida. Campuran yang terbentuk kemudian dididihkan, endapan dan sampah yang mengambang kemudian dapat dipisahkan. Setelah cukup murni, cairan didinginkan dan dikristalkan (biasanya sambil diaduk) untuk memproduksi gula yang dapat dituang ke cetakan. Sebuah mesin sentrifugal juga dapat digunakan pada proses kristalisasi. (23)
Gula batu adalah gula tebu yang tidak melalui tahap kristalisasi. Gula kotak/blok adalah gula kristal lembut yang dipres dalam bentuk dadu. Gula mentah (raw sugar) adalah gula kristal yang dibuat tanpa melalui proses pemutihan dengan belerang. Warnanya agak kecoklatan karena masih mengandung molase. (23)
3.      Gula bit
Setelah dicuci, bit kemudian di potong potong dan gulanya kemudian di ekstraksi dengan air panas pada sebuah diffuse. Pemurnian kemudian ditangani dengan menambahkan larutan kalsium oksida dan karbon dioksida. Setelah penyaringan campuran yang terbentuk lalu dididihkan hingga kandungan air yang tersisa hanya tinggal 30% saja. Gula kemudian diekstraksi dengan kristalisasi terkontrol. Kristal gula pertama tama dipisahkan dengan mesin sentrifugal dan cairan yang tersisa digunakan untuk tambahan pada proses kristalisasi selanjutnya. Ampas yang tersisa (dimana sudah tidak bisa lagi diambil gula darinya) digunakan untuk makanan ternak dan dengan itu terbentuklah gula putih yang kemudian disaring ke dalam tingkat kualitas tertentu untuk kemudian dijual. (22)
c.       Metode Penetapan kadar gula
Metode Luff Schoorl menggunakan reagen alkalin yang mengandung tembaga sitrat (ion Cu2+).(16) Setelah memanaskan reagen ini dengan larutan yang mengandung gula pereduksi lalu kalium iodida (KI) dan asam (asam sulfat) ditambahkan setelah didinginkan, iodin dibebaskan dari reaksi redoks berikut :
2I- + Cu2→ I2 + Cu+
Iodin yang dibebaskan sepadan dengan tembaga non-pereduksi (Cu2+), yaitu : 1 mol I2 dari 1 mol Cu2+. Iodin yang dibebaskan (berwarna coklat-hitam) kemudian dititrasi (menjadi tidak berwarna) dengan agen pereduksi yaitu natrium tiosulfat.(18) Persamaannya yaitu :
I2→ I-
Berwarna Tidak berwarna

Reagen Luff Schoorl memiliki sedikit alkali daripada larutan Fehling. Akibatnya, Luff Schoorl merupakan agen oksidasi yang lebih lemah dan memerlukan pemanasan sampel yang lebih lama daripada teknik Lane dan Eynon (Nielsen 1998). Proses iodometri adalah proses titrasi terhadap iodium (I2) bebas dalam larutan. Apabila terdapat zat oksidator kuat (misal H2SO4) dalam larutannya yang bersifat netral atau sedikit asam, penambahan ion iodida berlebih akan membuat zat oksidator tersebut tereduksi dan membebaskan I2 yang setara jumlahnya dengan banyaknya oksidator (Winarno 1997).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja (Khopkar 2003).
Oksidator lebih jarang ditentukan dibandingkan reduktor. Namun demikian, oksidator dapat ditentukan dengan reduktor. Reduktor yang lazim dipakai untuk penentuan oksidator adalah kalium iodida, ion titanium(III), ion besi(II), dan ion vanadium(II). Cara titrasi redoks yang menggunakan larutan iodium sebagai pentiter disebut iodimetri, sedangkan yang menggunakan larutan iodida sebagai pentiter disebut iodometri (Rivai 1995).
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna (Underwood 1986).

B.     Penentuan Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam dari bahan pangan terdiri dari dua jenis garam yaitu garam organik misalnya asetat, pektat, malat, oksalat dan garam anorganik misalnya karbonat, fosfat, sulfat dan nitrat. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya.(1)
Selain kedua garam tersebut, terkadang mineral berbentuk sebagai senyawa kompleks yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalam bentuk aslinya adalah sangat sulit, oleh karenanya biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sia pembakaran garam mineral tersebut, yang dikenal dengan pengabuan.(2)
Tujuan penentuan kadar abu antara lain :
1.      Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses pengolahan.
2.      Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan.
3.      Untuk menentukan atau membedakan fruit vinegar (asli) atau sintetis.
4.      Sebagai parameter nilai bahan makanan.



Metode pengabuan terdiri dari tiga macam yaitu:
1.      Pengabuan kering
Pada pengabuan kering menggunakan tanur pada suhu 5000C – 6000C selama 2 sampai 24 jam. Pada pengabuan kering ada beberapa mineral yang mudah menguap dan hilang pada suhu tinggi misalnya yaitu timah, besi dan merkuri.(3)
Keuntungan menggunakan metode pengabuan kering:
a)      Aman
b)      Hanya membutuhkan reagen dalam jumlah sedikit
c)       Beberapa sampel dapat dianalisis secara bersamaan
d)     Tidak memerlukan tenaga pekerja yang intensif
e)      Abu yang dihasilkan dapat dianalisis untuk penentuan kadar mineral spasifik
Kerugian menggunakan metode pengabuan kering:
a)      Membutuhkan waktu yang lama
b)      Biaya listrik lebih tinggi karena menggunakan tanur
c)      Kehilangan mineral yang dapat menguap pada suhu tinggi
2.      Pengabuan basah
Pemanasan dilakukan sampai materi organik benar – benar hilang dan hanya menyisakan mineral oksida dalam larutan, biasanya memerlukan waktu 10 menit sampai beberapa jam pada suhu 3500C.(3) Keuntungan dan kerugian pengabuan basah:

Keuntungan
kerugian
Mineral volatil yang hilang tidak banyak karena menggunakan suhu yang lebih rendah
Memerlukan lemari asam karena menggunakan asam perklorat karena sifat yang berbahaya
Waktu analisis lebih cepat dari pada pengabuan kering
Menggunakan tenaga kerja intensif



3.      Pengabuan plasma suhu rendah
Sampel ditempatkan dalam chamber kaca yang divakumkan dengan menggunakan pompa vakum. Sejumlah oksigen (O2) dipompakan kedalam chamber tersebut hingga terbentuk 2O dengan aplikasi frekuensi elektromagnetik radio. (3)
(O2 → 2O)
Semua bahan organik akan teroksidasi dengan adanya 2O dan kadar air akan menguap karena peningkatan suhu. Metode ini menggunakan suhu yang relatif rendah (<1500C) sehingga mempunyai keuntungan yaitu hilangnya mineral volatil dapat dikurangi sedangkan kerugian metode ini adalah peralatan yang digunakan relatif mahal. (3)

C.    Penentuan Kadar Protein
a.       Pengertian
Protein merupakan polimer asam amino. Ada puluhan asam amino yang berbeda merupakan penyusun protein alami. Protein dibedakan satu sama lain berdasarkan tipe, jumlah dan susunan asam aminonya. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan struktur molekuler, kandungan nutrisi dan sifat fisikokimia. Protein merupakan konstituen penting dalam makanan, dimana protein merupakan sumber energi sekaligus mengandung asam-asam amino esensial seperti lysine, tryptophan, methionine, leucine, isoleucine dan valine (esensial berarti penting bagi tubuh, namun tidak bisa disintesis dalam tubuh). Protein juga merupakan komponen utama dalam berbagai makanan alami, yang menentukan tekstur keseluruhan, misalnya keempukan produk daging atau ikan, dan sebagainya.(8)
b.      Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl dikembangkan pada tahun 1883 oleh pembuat bir bernama Johann Kjeldahl. Makanan didigesti dengan asam kuat sehingga melepaskan nitrogen yang dapat ditentukan kadarnya dengan teknik titrasi yang sesuai. Jumlah protein yang ada kemudian dihitung dari kadar nitrogen dalam sampel. Prinsip dasar yang sama masih digunakan hingga sekarang, walaupun dengan modifikasi untuk mempercepat proses dan mencapai pengukuran yang lebih akurat. Metode ini masih merupakan metode standart untuk penentuan kadar protein. Karena metode Kjeldahl tidak menghitung kadar protein secara langsung, diperlukan faktor konversi (F) untuk menghitung kadar protein total dan kadar nitrogen.(9)
Faktor konversi 6,25 (setara dengan 0,16 g nitrogen per gram protein) digunakan untuk banyak jenis makanan, namun angka ini hanya nilai rata-rata, tiap protein mempunyai faktor konversi yang berbeda tergantung komposisi asam aminonya. Metode Kjeldahl terdiri dari tiga langkah : digesti, netralisasi dan titrasi.
Prinsip
a.       Digesti
Sampel makanan yang akan dianalisis ditimbang dalam labu digesti dan didigesti dengan pemanasan dengan penambahan asam sulfat (sebagai oksidator yang dapat mendigesti makanan), natrium sulfat anhidrat (untuk mempercepat tercapainya titik didih) dan katalis sepert tembaga (Cu), selenium, titanium, atau merkurium (untuk mempercepat reaksi). Digesti mengubah nitrogen dalam makanan (selain yang dalam bentuk nitrat atau nitrit) menjadi amonia, sedangkan unsur oganik lain menjadi CO2 dan H2O. Gas amonia tidak dilepaskan ke dalam larutan asam karena berada dalam bentuk ion amonium (NH4+) yang terikat dengan ion sulfat (SO42-) sehingga yang berada dalam larutan adalah : (8)
N (makanan) → (NH4)2SO4                            (1)
b.      Netralisasi
Setelah proses digesti sempurna, labu digesti dihubungkan dengan labu penerima (receiving flask) melalui sebuah tabung. Larutan dalam labu digesti dibasakan dengan penambahan NaOH, yang mengubah amonium sulfat menjadi gas amonia :
(NH4)2SO4 + 2 NaOH → 2 NH3 + 2 H2O + Na2SO4             (2)
Gas amonia yang terbentuk dilepaskan dari larutan dan berpindah keluar dari labu digesti masuk ke labu penerima, yang berisi asam borat berlebih. Rendahnya pH larutan di labu penerima mengubah gas amonia menjadi ion amonium serta mengubah asam borat menjadi ion borat: (8)
NH3 + H3BO3 → NH4+ + H2BO3-                  (3)
c.       Titrasi
Kandungan nitrogen diestimasi dengan titrasi ion amonium borat yang terbentuk dengan asam sulfat atau asam hidroklorida standar, menggunakan indikator yang sesuai untuk menentukan titik akhir titrasi. (8)
H2BO3- + H+ → H3BO3                                  (4)
Kadar ion hidrogen (dalam mol) yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi setara dengan kadar nitrogen dalam sampel makanan (persamaan 3).
Persamaan berikut dapat digunakan untuk menentukan kadar nitrogen dalam mg sampel menggunakan larutan HClxM untuk titrasi. (8)
%N =                 (5)
Dimana vs dan vb adalah volume titrasi sampel dan blanko, 14g adalah berat molekul untuk nitrogen N. Penetapan blanko biasanya dilakukan pada saat yang sama dengan sampel untuk memperhitungkan nitrogen residual yang dapat mempengaruhi hasil analisis. Setelah kadar nitrogen ditentukan, dikonversi menjadi kadar proteind dengan faktor konversi yang sesuai : (8)
% Protein = F x %N.

Keuntungan dan Kerugian
a.          Keuntungan :
·      Metode Kjeldahl digunakan secara luas di seluruh dunia dan masih merupakan metode standar dibanding metode lain.
·      Sifatnya yang universal, presisi tinggi dan reprodusibilitas baik membuat metode ini 
     banyak digunakan untuk penetapan kadar protein.
b.        Kerugian :
·      Metode ini tidak memberikan pengukuran protein sesungguhnya, karena tidak semua nitrogen dalam makanan bersumber dari protein.
·      Protein yang berbeda memerlukan faktor koreksi yang berbeda karena susunan residu asam amino yang berbeda.
·      Penggunaan asam sulfat pada suhu tinggi berbahaya, demikian juga beberapa katalis.
·      Teknik ini membutuhkan waktu lama.

c.       Metode Dumas Termodifikasi
Akhir-akhir ini, teknik instrumen otomastis telah berkembang dengan kemampuan penentuan kadar protein dalam sampel dengan cepat. Teknik ini berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Dumas lebih dari 1,5 abad yang lalu, dan mulai berkompetisi dengan metode Kjeldahl sebagai metode standart penentuan kadar protein karena lebih cepat. (8)

Prinsip Umum
Sampel dengan massa tertentu dipanaskan dalam tangas pada suhu tinggi (sekitar 900oC) dengan adanya oksigen. Cara ini akan melepaskan CO2, H2O dan N2. Gas CO2 dan H2O dipisahkan dengan melewatkan gas pada kolom khusus untuk menyerapnya. Kandungan nitrogen kemudian dihitung dengan melewatkan sisa gas melalui kolom dengan detektor konduktivitas termal pada ujungnya. Kolom ini akan membantu memisahkan nitrogen dari sisa CO2 dan H2O. Alat dikalibrasi dengan senyawa analis yang murni dan telah diketahui jumlah nitrogennya, seperti EDTA (= 9,59 %N). Dengan demikian sinyal dari detektor dapat dikonversi menjadi kadar nitrogen. Dengan metode Kjeldahl diperlukan konversi nitrogen dalam sampel menjadi kadar protein, tergantung susunan asam amino protein. (8)
Keuntungan dan kerugian
a.     Keuntungan :
·      Jauh lebih cepat dari pada metode Kjeldahl (di bawah 4 menit per pengukuran, dibandingkan dengan 1-2 jam pada Kjeldahl).
·      Metode ini tidak menggunakan senyawa kimia atau katalis toksik.
·      Banyak sampel dapat diukur secara otomatis.
·      Mudah digunakan.
b.    Kerugian :
·      Mahal.
·      Tidak memberikan ukuran protein sesungguhnya, karena tidak semua nitrogen dalam makanan berasal dari protein.
·      Protein yang berbeda membutuhkan faktor koreksi yang berbeda karena susunan asam amino yang berbeda.
·      Ukuran sampel yang kecil menyulitkan mendapatkan sampel yang representatif.

d.   Metode Spektroskopi UV-Visible
Sejumlah metode telah ditemukan untuk pengukuran kadar protein berdasarkan spektroskopi UV-Visible. Metode ini berdasarkan kemampuan protein menyerap (atau membaurkan) cahaya di daerah UV-Visible. Atau secara kimiawi atau fisik memodifikasi protein untuk membuatnya menyerap (atau membaurkan) cahaya di daerah UV-Visible. Prinsip dasar di balik masing-masing uji ini serupa.(8)
Pertama-tama, semua serapan kurva kalibrasi (atau turbiditas) vs kadar protein disiapkan menggunakan satu seri larutan protein yang sudah diketahui kadarnya. Serapan (atau turbiditas) larutan yang dianalisis kemudan diukur pada panjang gelombang yang sama, dan kadar protein ditentukan dari kurva kalibrasi. Perbedaan utama pengujian ini adalah gugus fungsi yang berperan untuk absorbsi atau pembiasan radiasi elektromagnetik, misalnya ikatan peptida, rantai samping aromatis, gugus inti dan agregat protein.(8)
Sejumlah metode UV-visibe untuk penetapan kadar protein sebagi berikut :
Prinsip
·         Pengukuran langsung pada 280nm.
Tryptophan dan tyrosine mengabsorbsi kuat cahaya uv pada 280 nm. Kandungan tryptophan dan tyrosine berbagai protein umumnya konstan sehingga serapan larutan protein pada 280 nm dapat digunakan untuk menentukan kadarnya. (8)
Keuntungan metode ini karena sederhana untuk dilakukan, non-destruktif, dan tidak dibutuhkan reagen khusus.
Kerugian utama : asam nukleat juga mengabsorbi kuat pada 280 nm dan sehingga mengganggu pengukuran protein jika ada dalam kadar yang bermakna.
Namun demikian, metode ini telah berkembang untuk mengatasi masalah ini, antara lain dengan pengukuran serapan pada dua panjang gelombang yang berbeda. (8)
e.       Metode Biuret
Warna violet akan terbentuk bila ion cupri (Cu2+) berinteraksi dengan ikatan peptida dalam suasana basa. Reagen biuret, yang mengandung semua bahan kimia yang diperlukan untuk analisis sudah tersedia di pasaran. Reagen ini dicampurkan dengan larutan protein, didiamkan 15-30 menit, kemudian diukur serapannya pada 540 nm. (8)
Keuntungan utama dari teknik ini adalah tidak adanya gangguan dari senyawa yang menyerap pada panjang gelombang yang lebih rendah. Teknik ini kurang sensitif terhadap jenis protein karena absorpsi yang terjadi melibatkan ikatan peptida yang ada di semua protein, bukan pada gugus samping spesifik. (8)
f.       Metode Lowry
Metode Lowry mengkombinasikan pereaksi biuret dengan pereaksi lain (Folin-Ciocalteau phenol) yang bereaksi dengan residu tyrosine dan tryptophan dalam protein. Reaksi ini menghasilkan warna kebiruan yang bisa dibaca di antara 500 - 750 nm, tergantung sensitivitas yang dibutuhkan. Akan muncul puncak kecil di sekitar 500 nm yang dapat digunakan untuk menentukan protein dengan konsentrasi tinggi dan sebuah puncak besar di sekitar 750 nm yang dapat digunakan untuk menentukan kadar protein dengan konsentrasi rendah. Metode ini lebih sensitif untuk protein dengan konsentrasi rendah dibanding metode biuret. (8)
g.    Metode pengikatan pewarna
Pewarna dengan muatan negatif (anionik) ditambahkan dalam jumlah berlebih pada larutan protein yang pH nya telah disesuaikan sehingga protein menjadi bermuatan positif (misalnya dibuat di bawah titik isoelektrik). Protein membentuk kompleks tak larut dengan pewarna karena interaksi elektrostatik antar molekul, tapi masih tersisa pewarna tak terikat yang larut. Pewarna anionik berikatan dengan gugus kationik dari residu asam amino basa (histidine, arganine dan lysine) dan pada gugus asam amino bebas di ujung. Jumlah pewarna tak terikat terikat yang tersisa setelah kompleks protein-pewarna dipisahkan (misalnya dengan sentrifugasi) ditentukan dengan pengukuran serapan. Jumlah protein yang ada di larutan awal berhubungan dengan jumlah pewarna yang terikat : (8)
[Pewarna terikat] = [Pewarna awal] - [Pewarna bebas]
h.    Metode Turbimetri
Molekul protein yang umumnya laruta dapat dibuat mengendap dengan penambahan senyawa kimia tertentu, seperti asam trikloroasetat. Pengendapan protein menyebabkan larutan menjadi keruh, sehingga konsentrasi protein dapat ditentukan dengan mengukur derajat kekeruhan (turbiditas). (8)
Keuntungan dan kerugian
a.       Keuntungan
Teknik UV-visible merupakan teknik yang cepat dan sederhana, serta sensitif terhadap protein dengan konsentrasi rendah. (8)
b.      Kerugian :
Sebagian besar teknik UV-visible memerlukan larutan yang encer dan jernih, serta tidak mengandung senyawa kontaminan yang dapat mengabsorpsi atau memantulkan cahaya pada panjang gelombang di mana protein akan dianalisis. Karena diperlukan larutan jernih, maka makanan harus mengalami sejumlah tahap preparasi sampel sebelum dianalisis, seperti homogenisasi, ekstraksi pelarut, sentrifugasi, filtrasi, dsb. yang dapat menyita waktu dan tenaga. Selain itu, kadang-kadang sulit untuk secara kuantitatif mengekstraksi protein dari jenis makanan tertentu, terutama bila makanan tersebut telah mengalami proses dimana protein menjadi agregat atau terikat secara kovalen dengan senyawa lain. Kelemahan lain adalah, serapan tergantung pada jenis protein (karena protein yang berbeda mempunyai sekuens/urutan asam amino yang berbeda pula). (8)

D.    Penentuan Bahan Pengawet
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Penggunaan pengawet dalam bahan pangan harus tepat, baik jenis dan dosisnya. Apabila pemakaian bahan pangan dan dosisnya tidak diatur dan diawasi, kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya baik yang bersifat langsung, misalnya keracunan maupun yang tidak bersifat langsung atau kumulatif, misalnya bahan pengawet yang bersifat karsinogenik.(4)
Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut(4):
1.      Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun yang tidak patogen.
2.      Memperpanjang umur simpan pangan
3.      Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan.
4.      Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.
5.      Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan.
6.      Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.

Berdasarkan Permenkes No. 722/88 terdapat 26 jenis pengawet yanmg diizinkan untuk digunakan dalam makanan. Adapun kelompok pengawet tersebut adalah: asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, belerang dioksida, etil p-hidroksi benzoat, kalium benzoat, kalium bisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium propionat, kalium sorbat, kalium sulfit, kalsium benzoat, kalsium propionat, kalsium sorbat, natrium benzoat, metil p-hidroksi benzoat, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitri, natrium propionat, natrium sulfit, nisin, propil -p- hidroksi benzoat. Penggunaan bahan pengawet tersebut harus mengikuti dosis yang ditetapkan. (4)

E.     Penentuan Padatan Terlarut
Total Padatan Terlarut atau TDS (Total Disolved Solid) merupakan parameter fisik kualitas baku dan merupakanukuran zat terlarut (baik zat organik maupun anorganik, misalnya : garam). Yang terdapat pada sebuah larutan. TDS meter menggambarkan jumlah zat terlarut part per milion (ppm) atau sama dengan miligram per liter (mg/L) pada air. Aplikasi utama TDS adalah dalam studi kualitas air untuk aliran, sungai dan danau, walaupun TDS umumnya dianggap bukan sebagai polutan utama (misalnya tidak dianggap terkait dengan efek kesehatan), tetapi digunakan sebagai indikasi karakteristik estetika air minum dan sebagai indikator agregat kehadiran array yang luas dari kontaminan kimia.(13)
Senyawa kimia TDS merupakan total zat terlarut yang terdiri dari zat organik dan anorganik. Yang lebih umum adalah konstituen kimia kalsium, fosfat, nitrat, natrium, kalium dan klorida, yang terdapat dalam limpasan air hujan dan limpasan dari iklim bersalju.Pembentukan TDS secara alami yaitu dari pelapukan batu dan tanah. (13)
Metode pemeriksaan ada dua macam metode yang digunakan untuk mengukur kualitas suatu larutan.Untu mengukur TDS, metodenya adalah :
1.      Gravimetri
Metode gravimetri merupakan metode pengukuran TDS yang paling akurat dan melibatkan penguapan cairan pelarut untuk meninggalkan residu yang kemudian dapat ditimbang dengan menggunakan presisi analitas saldo (biasanya mampu mengukur dengan keakuratan 0,0001 gram). Metode ini umumnya adalah metode yang terbaik,walaupun memerlukan banyak waktu dan mengakibatkan ketidaktepatan jika proporsi TDS tinggi yang terdiri atas titik didih bahan kimia organik yang rendah, yang akan menguap bersama dengan air. Dalam keadaan paling umum garam anorganik terdiri dari sebagian besar TDS, dan metode gravimetric sesuai untuk digunakan sebagai pemeriksaannya. (13)
2.      Electrical conductivity
Konduktivitas listrik air secara langsung berhubungan dengan konsentrasi padatan terlarut yang terionisasi dalam air. Ion dari konsentrasi padatan terlarut dalamair menciptakan kemampuan pada air untuk menghasilkan arus listrik, yang dapat diukur dengan menggunakan konvensional konduktivitas meter atau TDS meter. Ketika laboratorium berkorelasi dengan pengukuran TDS, konduktivitas memberikan nilai perkiraan untuk TDS konsentrasi, biasanya digunakan untuk pengukuran sepuluh persen akurasi. (13)

F.     Penentuan Garam NaCl cara Morh
Natrium klorida, juga dikenal dengan garam dapur, atau halit, adalah senyawa kimia dengan rumus molekul NaCl. Senyawa ini adalah garam yang paling memengaruhi salinitas laut dan cairan ekstraselular pada banyak organisme multiselular. Sebagai komponen utama pada garam dapur, natrium klorida sering digunakan sebagai bumbu dan pengawet makanan. (12)
Sodium Chlorida atau Natrium Chlorida (NaCl) yang dikenal sebagai garam adalah zat yang memiliki tingkat osmotik yang tinggi. Zat ini pada proses perlakuan penyimpanan benih recalsitran berkedudukan sebagai medium inhibitor yang fungsinya menghambat proses metabolisme benih sehingga perkecambahan pada benih recalsitran dapat terhambat.(12)
Dengan kemampuan tingkat osmotik yang tinggi ini maka apabila NaCl terlarut di dalam air maka air tersebut akan mempunyai nilai atau tingkat konsentrasi yang tinggi yang dapat mengimbibisi kandungan air (konsentrasi rendah)/low concentrate yang terdapat di dalam tubuh benih sehingga akan diperoleh keseimbangan kadar air pada benih tersebut. Hal ini dapat terjadi karena H2O akan berpindah dari konsentrasi yang rendah ke tempat yang memiliki konsentrasi yang tinggi.(12)
Hal ini merupakan hal yang sangat menguntungkan bagi benih recalsitran, karena sebagaimana kita ketahui benih recalsitran yaitu benih yang memiliki tingkat kadar air yang tinggi dan sangat peka terhadap penurunan kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi menyebabkan benih recalsitran selalu mengalami perkecambahan dan berjamur selama masa penyimpanan atau pengiriman ketempat tujuan. Namun dengan perlakuan konsentrasi sodium chlorida (NaCl) maka hal ini dapat teratasi.(12)
Kadar halogen dalam air dapat dianalisis secara kuantitatif dengan menggunakan suatu metode analisis titrimetri. Titrasi yang digunakan adalah titrasi Argentometri. Salah satu metode yang ada dalam analisis ini adalah metode Mohr, yaitu titrasi argentometri yang menggunakan kromat sebagai indikatornya. Metode ini dapat digunakan untuk mengetahui kadar klorida dalam air, karena reaksi yang terjadi cukup spesifik dan khas. Dimana akan terbentuk suatu endapan berwarna merah bata.(11)













BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM


A.    Penentuan Kadar Gula
a.  Alat dan bahan
·         Alat:
1)      Erlemayer
2)      Labu bulat
3)      Batu didih
4)      Labu ukur 250ml
5)      Corong
6)      Buret
7)      Refluks
8)      pemanas 
·         Bahan:
1)      Sampel  kecap ABC
2)      Na2S2O3 0,1N
3)      Larutan kanji
4)      H2SO4 25%
5)      H2SO4 (e)
6)      KIO3
7)      KI 30%
8)      Aqua destilata
9)      Na2HPO4
10)  Larutan Luff


b.      Prosedur kerja
I.       Pembakuan Na2S2O3
a.       Timbang seksama 100,00mg KIO3 ditambahkan dengan KI 300mg dan 10ml H2SO4
b.      Kemudian tutup dan homogenkan, biarkan 10menit ditempat gelap
c.       Titrasi dengan Na2S2O3 sampai kuning seulas atau kuning muda
d.      Tambahkan larutan kanji sampai warna biru
e.       Titrasi kembali hingga warna biru hilang
f.       Hitung normalitasnya
Reaksi:
KIO3 + 3 H2SO4 + 5KI → 3 I2 + 3K2SO4 + 3H2O
II.    Persiapan sampel
a.       Timbang seksama 5-10 gram sampel
b.      Masukan dalam labu ukur 100ml, cukupkan ad tanda batas.
c.       Saring dengan saringan berlipat
d.      Pipet  25 ml filtrat, masukkan ke dalam labu ukur 250 ml
e.       Tambahkan 10 ml ZnSO4 setengah basa berlebih kemudian dikocok
f.       Uji dengan tetesan NaHPO4 10%. Bila timbul endapan putih berarti sudah cukup. Endapan sempurna dengan Na2HPO4 10%
g.      Tambahkan air hingga tanda tera, dikocok dan dibiarkan sekitar 30menit dan kemudian disaring.
III. Sebelum Inversi
a.       Pipet  filtrat sebanyak 10ml, masukan ke dalam labu bulat
b.      Tambahkan 15ml air dan 25ml larutan Luff (jumlah larutan 50ml)
c.       Dipanaskan selama 3menit sampai mendidih dan didihkan terus selama 10menit dengan refluks
d.      Dinginkan cepat
e.       Setelah dingin tambahkan 10-15ml KI 30% dan 25ml H2SO4 25% dengan pelan-pelan.
f.       Titrasi dengan larutan Na2S2O3 0,1N sampai larutan berwarna kuning
g.      Tambahkan larutan kanji sebagai indikator sebanyak  1ml
h.      Lanjutkan titrasi sampai larutan berwarna putih susu
i.        Lakukan penetapan blanko (25ml aquadest dan 25ml larutan Luff )
Perhitungan:
a.       Jumlah ml (blangko - sampel) tio dikonversikan dulu ke ml tio 0,1000N
b.      Dari daftar dicari mg gula pereduksi (glukosa) yang setara dengan ml tio yang digunakan (lihat tabel luff schoorl)


%gula pereduksi =    faktor pengenceran x mg glukosa x 100%
                                                                mg sampel
 
 




IV. Setelah inversi
a.       Filtrat sebanyak 25ml dipipet dan dimasukkan salam labu alas bulat
b.      Tambahkan 5ml H2SO4 25% kemudian labu dimasukkan kedalam refluks
c.       Biarkan selama 10menit agar menginversi gula-gula
d.      Angkat dan dinginkan
e.       Masukan kedalam labu ukur 100ml
f.       Netralkan dengan NaOH 30% (menggunakan indikator PP) hingga merah jambu atau hingga PH netral yaitu 7
g.      Cukupkan ad tanda batas dan homongenkan
h.      Pipet filtrat sebanyak 10ml masukkan kedalam labu bulat
i.        Tambahkan 15ml air dan 25ml larutan Luff (jumlah larutan 50ml)
j.        Panaskan selama 3menit sampai mendidih dan didihkan tersu selama 10menit dalam refluks
k.      Dinginkan cepat
l.        Setelah dingin tambahkan 10-15ml KI 30% dan 25ml H2SO4 25% dengan pelan-pelan
m.    Titrasi dengan larutan tio 0,1N sampai  larutan berwarna kuniing
n.      Tambahkan larutan kanji sebagai indikator sebanyak 1ml
o.      Lanjutkan titrasi sampai  larutan berwarna putih susu
p.      Lakukan penetapan blanko (25ml aquadest dan 25ml larutan Luff)
Perhitungan:
a.       Untuk mendapat mg glukosa, sama seperti pada gula sebelum inversi


%gula sesudah inversi =    faktor pengenceran x mg glukosa x 100%
                                                                                mg sampel

 
 




Total gula dihitung sebagai sukrosa =    % sesudah inversi  x 0,95
Kadar sukrosa    = % (sesudah inversi – sebelum inversi) x 0,95

B.     Penentuan Kadar Abu
a.       Alat     : Cawan porselen
                           Tanur
                           Desikator
                           Oven
                           Hot plate
                          Timbangan neraca analitik
Bahan  : Sampel kecap pedas ABC
b.      Prosedur kerja :
-       Siapkan alat dan bahan
-       Timbang cawan porselen kemudian panaskan dalam oven dengan suhu 1050C selama 30 menit lalu dinginkan dalam desikator kemudian timbang kembali
-       Timbang sampel 2-3 g, kemudian masukkan kedalam cawan
-       Lakukan pengarangan dihot plate sampai bau gosong
-       Masukkan cawan yang berisi arang ketanur listrik pada suhu 5500C hingga menjadi warna putih keabu – abuan
-       Dinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian timbang cawan beserta abu yang diperoleh.

C.    Penetapan Kadar Protein
Alat:                   
-          Labu kjeldahl
-          Alat destilasi
-          Buret
-          Pemanas
-          Labu ukur
-          Erlenmeyer
-          Pipet volumetric
Cara kerja:
a.    Tahap Destruksi
-     Timbang 0,5 gram bahan yang telah dihaluskan dan masukkan dalam labu Kjeldahl
-     Kemudian tambahkan 7,5 gram K2SO4 dan 0,35 gram dan kemudian tambahkan 15 ml H2SO4 p
-     Panaskan semua bahan dalam labu Kjeldahl perlahan-lahan dalam lemari asam sampai berhenti berasap
-     Teruskan pemanasan dengan api besar sampai mendidih dan cairan menjadi jernih
-     Teruskan pemanasan tambahan lebih kurang 1 jam. Matikan api pemanas dan biarkan menjadi dingin

b.    Tahap Destilasi
-     Pipet 10 ml larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling, tambahkan 10-15 ml NaOH 30% dengan indicator PP
-     Tempatkan 25 ml H3BO3 3% yang telah dibubuhi indicator BCG : MM dalam labu Erlenmeyer dan diletakkan di bawah labu pipa keluar (outlet) penyulingan
-     Hidupkan air penyulingan
-     Sulingkan selama kurang lebih 10 menit
-     Kumpulkan (tampung)  75 ml sulingan (destilat)
c.    Tahap Titrasi
Titrasi harus dilakukan dalam waktu 15 menit dari berakhirnya penyulingan.
-     Titar distilat dengan HCl 0,1 N yang telah dibakukan/distandardisasi, sampai titik akhir merah
-     Hitung % N dalam sampel
d.   Perhitungan
% N =  
% Protein = % N x Faktor Konfersi

D.    Penentuan Bahan Pengawet
Alat           : Erlemeyer
                         Beaker gelas
                         Gelas ukur
                         Hot plate
Bahan        : Sampel kecap pedas ABC
                         Aquadest
                         H2SO4 pekat
                         Eter
                         FeCl3
                         Aqua brom
Prosedur kerja :
a.       Penentuan asam salisilat
1.      Dilarutkan 1 bagian sampel dalam 4 bagian air, diaduk dan bila perlu disaring
2.      Ambil kira – kira 60 ml larutan, asamkan dengan H2SO4 4N, selanjutnya dikocok 2 kali dengan 20 ml dan 10 ml eter. Larutan eter tersebut setelah dicampur dengan baik, eternya diuapkan dengan pemanasan lambat (jangan pakai api langsung)
3.      Residu dilarutkan dalam air dan sebagian dari larutan yang didapat dicampur dengan beberapa tetes larutan FeCl3
4.      Bilamana terdapat asam salisilat maka dengan FeCl3 menjadi violet
b.      Penentuan asam benzoat
1.      Dilarutkan 1 bagian sampel dalam 4 bagian air, diaduk dan bila perlu disaring
2.      Ambil kira – kira 60 ml larutan, asamkan dengan H2SO4 4N, selanjutnya dikocok 2 kali dengan 20 ml dan 10 ml eter. Larutan eter tersebut setelah dicampur dengan baik, eternya diuapkan dengan pemanasan lambat (jangan pakai api langsung)
3.      Residu dicampur dengan 10 tetes H2SO4 pekat dan kemudian dipanaskan 1800C selama 3 menit. Setelah didinginkan cairannya dibuat alkalis dengan penambahan amonia dan didihkan
4.      Setelah dingin diberi amonium sulfida. Timbulnya warna merah coklat menunjukan adanya asam benzoate
c.       Penentuan nipagin
1.      Dilarutkan 1 bagian sampel dalam 4 bagian air, diaduk dan bila perlu disaring
2.      Tambahkan filtrat dengan FeCl3
3.      Jika terbentuk endapan violet maka positif nipagin




E.     Penentuan Kadar Padatan Terlarut
Alat     :
§  Neraca analitik
§  Cawan uap
§  Gegep besi
§  Oven
§  Penangas air
§  Desikator
Bahan :
§  Sampel Kecap Pedas ABC
§  Aquadest
Prosedur kerja :
1.      Timbang sampel + 5 gram dalam cawan uap yang telah diketahui bobotnya.
2.      Panaskan dalam penangas air sampai menjadi lebih kental atau berbentuk seperti gulali.
3.      Setelah seperti gulali, angkat cawan penguap yang berisi sampel dengan gegep besi dari penangas air.
4.      Masukkan dalam oven suhu 1050 C selama 2 – 3 jam.
5.      Dinginkan dalam desikator setelah 2 – 3 jam dalam oven.
6.      Timbang bobot sampel + cawan sampai bobot konstan.
7.      Hitung persen padatan terlarutnya.







F.     Penentuan Kadar Garam NaCl metode Mohr
Alat     :
·         Neraca analitik
·         Beaker glass
·         Kertas perkamen
·         Erlenmeyer
·         Batang pengaduk
·         Buret schelbach
·         Statip
·         Pipet tetes
·         Gelas ukur
Bahan :
§  Aquadest
§  AgNO3 0,1 N
§  K2CrO4 5 %
§  MgO
§  NaCl
Prosedur kerja :
Ø  Pembakuan Larutan AgNO3
1.      Timbang NaCl 200,0 mg.
2.      Masukkan dalam Erlenmeyer, tambahkan aquadest sampai larut.
3.      Tambahkan K2CrO4 5 % sebanyak 3 ml.
4.      Titrasi dengan AgNO3 sampai terbentuk endapan merah bata.
5.      Lakukan 2 kali pembakuan.




Ø  Penentuan Garam NaCl
1.      Timbang sampel + 5 gram.
2.      Masukkan dalam Erlenmeyer, larutkan dengan aquadest panas 100 ml, homogenkan larutan.
3.      Tambahkan MgO sedikit agar larutan netral. Cek pH.
4.      Tambahkan indicator K2CrO4 5 % sebanyak 3 ml.
5.      Titrasi dengan perlahan sampai terbentuk warna merah bata.
6.      Buat penetapan blanko ( b ) seperti langkah diatas dengan tanpa sampel ( hanya aquadest ) dan tanpa penambahan MgO (aquadest sudah netral pH = 7 ).



















BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


A.    HASIL
a.      Hasil Penentuan Kadar Gula
I.                   Penimbangan KIO3
a.       Kertas kosong                                     = 0,2109
Sampel + kertas kosong          = 0,2684
Sampel KIO3                           = 0,2684 – 0,2109      
= 0,0575 (57,5 mg)
b.      Kertas kosong                                     = 0,2365
Sampel + kertas kosong          = 0,2864
Sampel KIO3                           = 0,2864 – 0,2365
= 0,0499 (49,9 mg)
II.                Data pembakuan larutan Na2S2O3
Berat KIO3
Volume titran (ml)
57,5 mg
16, 25 ml
49,9 mg
14,15 ml

III.             Data Volume Na2S2O3 pada perhitungan kadar

Volume Na2S2O3
Sebelum inversi
40, 85ml
Sesudah inversi
40,45ml
Blangko
49,85ml

Berat sampel = 5. 023,1 mg

a.       Perhitungan dan Hasil
I.                   Perhitungan normalitas
N Na2S2O3                                =    mg sampel KIO3   
                                Be . BM KIO3 V Na2S2O3
a.       N Na2S2O3              = 57,5 mg
             1/6 . 214. 16,25ml
= 0.0992N
b.      N Na2S2O3              = 49,9 mg
               1/6 . 214. 14,15ml
= 0.0989N
                        Rata – rata N Na2S2O3            = 0,0992N + 0.0989N
                                                                                           2
                                                                        = 0,09905N
II.                Sebelum inversi
Volume tio blanko            = blanko – sampel
                                          = 49,85ml – 40,85ml
8                              19,8
8,9145                   x
9                              22,4
 
                                          =9,0ml
9,0ml x 0,09905N       = 8.9145
                                   0,1N
                        8,9145 - 8  = X – 19,8
                        9-8                22,4- 19,8
                        0,9145       =  X- 19,8
                                                 2,6
                                      X = 2,377 + 19,8
                                          = 22,1777mg        
%gula sebelum inversi ( gula pereduksi)
= 100/25 x 250/10 x 22,1777 mg        x 100%
                                   5.023,1 mg      
= 44, 1514 %
III.             Sesudah  inversi
Volume tio blanko            = blanko – sampel
                                          = 49,85ml – 40,45ml
                                          =9,4ml
9                              22,4
9,3107                   x
10                           25,0
 
    9,4ml x 0,09905N   = 9,3107
                                       0,1N
                                         9,3107-9     = X – 22,4
                                             10-9            25-22,4
                                           0,3107      =  X- 22,4
                                                                   2,6
                                                        X = 0,8078 + 22,4
                                                            = 23,20782mg
%gula sesudah inversi total
=  250/10 x 100/10 x  23,20782mg       x 100%
               5.023,1mg      
= 46,2022 %
Total gula dihitung sebagai sukrosa      = % sesudah inversi x 0,95
                                                               = 46,2022% x 0,95
                                                               = 43,8921%
Kadar sukrosa                            = % (sesudah inversi – sebelum inversi) x 0,95
                                                   = (46,2022% - 44, 1514%) x 0,95
                                                   = 1,9483 %

b.      Hasil Penentuan Kadar Abu
Data :
1.      Cawan kosong                             : 39,7981 g
2.      Data bobot konstan                     : 42,0787 g
(cawan kosong + sampel)              42,0708 g
              42,0692 g
              42,0692 g
3.      Cawan bobot konstan                  : 42,0692 g
4.      Bobot sampel                               : 2,2711 g
5.      Bobot konstan yang dipakai        : 42,0692 g
6.      Bobot abu + cawan akhir                        : 40,0249 g
Perhitungan :
          
          
Hasil    : kadar abu yang diperoleh pada sampel kecap pedas ABC adalah 
              9,9864%

c.    Hasil Penentuan Bahan Pengawet
a.       Penentuan asam salisilat
Larutan sampel + H2SO4 4 N + 20 eter (kocok) + 10 ml eter (kocok)        sampai bau eter hilang + FeCl3        tidak berwarna violet. Maka sampel kecap pedas ABC tidak mengandung bahan pengawet asam salisilat
b.      Penentuan asam benzoat
Larutan sampel + H2SO4 4N + 20 eter (kocok) + 10 ml eter (kocok)        sampai bau eter hilang + 10 tetes H2SO4(p)  dinginkan + amonium sulfida → berwarna merah coklat
Maka sampel kecap pedas ABC mengandung bahan pengawet asam benzoat
c.       Penentuan nipagin
Larutan sampel → saring → filtrat → tidak terbentuk warna violet maka sampel kecap pedas ABC tidak mengandung bahan pengawet nipagin


d.      Hasil Penentuan Padatan Terlarut
Data hasil praktikum :
1.      Bobot cawan penguap kosong ( A ) = 34,1844 gram
2.      Bobot sampel yang ditimbang ( W ) = 5, 0755 gram
3.      Bobot cawan + sisa penguapan ( B ) :
a.       37, 4857 gram
b.      37, 4967 gram
c.       37, 4953 gram
Perhitungan :
Rumus % padatan terlarut =  bobot padatan ( B – A ) X 100%
                                                            Bobot contoh ( W )
                                                       = ( 37, 4953 gram – 34, 1844 gram )  X 100%
                                                                        5, 0755 gram
                                                       = 65, 2329 %
Kecap pedas ABC 500 ml tanpa pengurangan dari total gula % dan garam %
Untuk mengetahui padatan terlarut murni tanpa total gula % dan garam % adalah dengan mengurangi % padatan terlarut yang diperoleh tadi. Dalam SNI rumus padatan terlarut ( tidak termasuk garam dan gula ) % adalah % total padatan terlarut – total gula % - garam %. Sehingga diperoleh 65, 2329 % - 43,8921 % - 2,3081 % = 19, 0327 % padatan terlarut tanpa gula dan garam.

e.       Hasil Garam NaCl cara Mohr
Data hasil praktikum :
1.      Pembakuan AgNO3
a.       Bobot penimbangan = 201,0 mg ( NaCl ) dan volume titran yang diperoleh 34,00 ml.
b.      Bobot penimbangan = 204,1 mg ( NaCl ) dan volume titran yang diperoleh 34,80 ml.

2.      Blanko diperoleh volume titran 2,10 ml.
3.      Kadar / penetapan garam NaCl : bobot sampel = 5,0231 gram dengan volume titran diperoleh adalah 21,70 ml.

Perhitungan     :
Ø  Pembakuan AgNO3
N =      mg NaCl
       ml AgNO3 X BE NaCl

a.       N =            201,0 mg                 = 0,1011 N
        34,00 ml X 58,5/1
b.      N =           204,1 mg                   = 0, 1002 N
        34,80 ml X 58,5/1
            N rata – rata = ( 0,1011 N + 0, 1002 N ) : 2 = 0, 1006 N

Ø  Penentuan Garam NaCl
% NaCl  = ml AgNO3 ( a – b ) X N AgNO3 X BE NaCl  X 100 %
                                    mg  sampel
% NaCl  = ( 21, 70 ml – 2,10 ml ) X 0, 1006 N X 58,5/1   X 100%
                                    5023,1 mg
            = 2, 3081 %








B.     PEMBAHASAN
a.      Pembahasan Penentuan Kadar Gula
Gula pasir atau sukrosa merupaka jenis gula yang paling banyak dipakai sebagai pemanis karena rasanya lebih dapat memberikan kenikmatan sehinggga dianggap sebagai pemanis baku. Pada praktikum penentuan kadar gula dengan sampel kecap pedas ABC. Diketahui pada SNI mengandung sukrosa. Sukrosa merupakan gula inversi yang tersusun atas 2 gula pereduksi glukosa dan fruktosa. Gula pereduksi merupakan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa penerima elektron. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehid atau keton bebas. Fruktosa merupakan gula pereduksi yangmemiliki gugus keton bebas dan glukosa merupakan gula pereduksi yang memiliki gugus aldehid bebas. Namun bila dalam bentuk sukrosa, ia merupakan gula inversi. Maka pada waktu penentuan kadar gula tidak dapat dilakukan secara langsung (tidak dapat ditentukan masing – masing kadar secara individual) didapat kadar gula pereduksi total. Dilakukan dengan 2 tahap yaitu menentukan %kadar sebelum dan sesudah inversi. Dengan menggunakan reagen Luff yang terdiri atas CuSO4, asam sitrat dan Na karbonat, yaang dapat mengakibatkan terjadinya reaksi reduksi- oksidasi yang akan mereduksi Cu2+ sehingga terbentuk endapan CuO berwarna merah bata. Penentuan kadar glukosa dilakukan dengan methode iodimetri dengan larutan titran Na2S2O3. Indikator yang digunakan adalah larutan kanji dengan titik akhir hilangnya warna biru. Sebelumnya dilakukan penetapan kadar blangko sebagai faktor koreksi.
Dari praktikum ini diperoleh kadar total gula dihitung sebagai sukrosa adalah 43,8921% yang jika dibandingkan dengan persyaratan SNI yaitu kadar total gula dihitung sebagai sukrosa adalah tidak kurang dari 30%. Maka hasil yang didapat memenuhi persyaratan SNI.


b.      Pembahasan Penentuan Kadar Abu
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk untuk mengetahui besarnya kandungan mineral yang terdapat dalam sampel kecap pedas ABC. Penentuan abu secara langsung (cara kering) penentuan kadar abu adalah dengan pengoksidasikan semua zat organic pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 550-600oC. Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Bahan yang akan di abukan di tempatkan dalam wadah khusus yang di sebut krus yang dapat terbuat dari porselin, silica, quarzt, nikel atau platina dengan berbagai kapasitas (25-100 ml). Pemilihan wadah ini di sesuaikan dengan bahan yang akan di abukan.
Lama pengabuan tiap bahan berbeda-beda dan berkisar anara 2-8 jam. Pengabuan di anggap selesai apabila di peroleh pengabuan yang umumnya berwarna putih abu-abu dan beratnya konstan. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadaan dingin, untuk itu maka krus yang berisi abu yang di ambil dari dalam tanur harus lebih dahulu di masukan ke dalam oven bersuhu 105oC supaya suhunya turun, baru kemudian di masukan ke dalam desikator sampai dingin. Desikator yang di gunakan harus di lengkapi dengan zat penyerap uap air misalnya silica gel atau kapur aktif atau kalsium klorida, sodium hidroksida, supaya desikator dapat mudah di geser tutupnya maka permukaan gelas di olesi dengan vaselin.
Sebelum pada tahap pengabuan, dilakukan tahap pengarangan terlebih dahulu. Pengarangan dilakukan dengan cara memanaskan bahan uji dalam cawan porselen di atas api. Hal ini dilakukan untuk menguapkan zat organik dalam bahan pangan. Pengabuan adalah tahapan utama dalam proses analisis kadar abu suatu bahan, Pada tahap ini menggunakan tanur. Kadar abu ditentukan berdasarkan kehilanganberat setelah pembakarandengan syarat titik akhir pembakaran dihentikan sebelum terjadi dekomposisi dariabu tersebut. Misalnya, suhu terlalu tinggi menghasilkan komponen dekomposisi sehingga menguap.
Hasil yang diperoleh saat penentuan kadar abu pada sampel kecap padas ABC adalah . Abu yang diperoleh pada sampel kecap pedas ABC lumayan tinggi, Tingginya kadar abu pada suatu bahan makanan menunjukkan bahwa makanan tersebut kurang baik dalam segi keaslian bahan dan diduga terjadi pemalsuan dalam makanan tersebut karena kadar abu dalam suatu bahan pangan berhubungan erat dengan kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan. Tetapi kemungkinan kesalahan pada saat dilakukan penentuan kadar abu juga mungkin terjadi karena beberapa faktor misalnya kesalahan dalam pengarangan, ketidaktelitian dalam mengukur berat, kurang memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan dan lain – lain.

c.       Pembahasan Penentuan Kadar Protein
Analisa protein yang dilakukan pada sampel kecap pedas ABC adalah analisa metode Kjeldahl. Pada analisa metode ini ada tiga tahapan yang harus dilakukan, yaitu destruksi, netralisasi dan titrasi. Analisa yang dilakukan baru mencapai tahapan pertama yaitu tahap destruksi saja. Pengujian belum dilanjutkan ke tahap selanjutnya sehingga hasilnya belum diketahui. Namun, SNI 01 – 3543 -1999 mempersyaratkan bahwa kecap kedelai harus mengandung protein minimal 2,5%.

d.      Pembahasan Penentuan Bahan Pengawet
Setelah dilakukan pengujian penetapan nipagin sebagai bahan pengawet pada sampel kecap pedas ABC maka diperoleh hasil bahwa sampel kecap pedas ABC tidak mengandung pengawet nipaginkarena pada saat filtrat sampel kecap pedas ABC ditambahkan FeCl3 tidak menghasilkan warna violet. batas maksimum nipagin yang diizinkan untuk digunakan adalah 250 mg/kg. Sedangkan Berdasarkan Acceptable Daily Intake (ADI) atau asupan yang masih dapat diterima tubuh per hari untuk nipagin adalah 10 mg/kg berat badan per hari.
Dilakukan pengujian penetapan bahan pengawet asam benzoat dan diperoleh hasil bahwa sampel kecap pedas ABC positif mengandung bahan pengawet asaam benzoat yang ditandai dengan penambahan amonium sulfida menghasilkan warna merah coklat. Penggunaan pengawet Benzoat dimaksudkan untuk mencegah kapang dan bakteri. Benzoat sejauh ini dideteksi sebagai pengawet yang aman. Batas atas benzoat yang diijinkan dalam makanan 0,1% di Amerika Serikat, sedangkan untuk negara-negara lain berkisar antara 0,15-0,25%. Untuk negara-negara Eropa batas benzoat berkisar antara 0,015-0,5%. Sedang di Indonesia, berdasarkan Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 dan No. 1168/ Menkes/Per/X/1999 batas maksimal penggunaan asam benzoat dan natrium benzoat adalah 0,1% atau 1 gram asam benzoat setiap 1 kg bahan makanan. Selain berfungsi sebagai bahan pengawet, asam benzoat juga berperan sebagai antioksidan karena pada umumnya antioksidan mengandung struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzen tidak jenuh disertai dengan gugus hidroksil atau gugus amina. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi, dengan penambahan antioksidan maka energi persenyawaan aktif ditampung oleh antioksidan sehingga reaksi oksidasi berhenti.
Pada saat dilakukan pengujian penetapan bahan pengawet diperoleh hasil bahwa sampel kecap pedas ABC negatif mengandung asam salisilat hal ini sesuai dengan komposisi pengawet yang digunakan yaitu asam benzoat.
Asam salisilat dilarang digunakan sebagai bahan pengawet makanan di Indonesia. Pasalnya, asam salisilat memiliki iritasi kuat ketika terhirup atau tertelan. Bahkan ketika ditambah air, asam salisilat tetap memberikan gangguan kesehatan pada tubuh karena dapat menyebabkan nyeri, mual, dan muntah jika tertelan.

e.       Pembahasan Penentuan Padatan Terlarut
Metode yang digunakan dalam pengujian ini yaitu dengan metode gravimetri dengan penguapan dan memghilangkan kadar air dan zat – zat yang terlarut dalam sampel atau kecap pedas ABC. Hasil penentuan total padatan diperoleh kadar sebesar 19, 0327 % pada sampel 5 gram tanpa total gula dan garam. Hasil dicocokan dengan SNI yaitu  minimal 10 % dan memenuhi syarat SNI nomor 01 – 3543 - 1999.

f.       Pembahasan Penentuan kadar garam NaCl cara Mohr
Metode yang digunakan dalam pengujian ini yaitu dengan metode gravimetri dengan penguapan dan memghilangkan kadar air dan zat – zat yang terlarut dalam sampel atau kecap pedas ABC. Hasil penentuan total padatan diperoleh kadar sebesar 19, 0327 % pada sampel 5 gram tanpa total gula dan garam. Hasil dicocokan dengan SNI yaitu  minimal 10 % dan memenuhi syarat SNI nomor 01 – 3543 - 1999.











BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN


A.       Kesimpulan
1.      Dari praktikum ini diperoleh kadar total gula dihitung sebagai sukrosa adalah 43,8921% yang jika dibandingkan dengan persyaratan SNI yaitu kadar total gula dihitung sebagai sukrosa adalah tidak kurang dari 30%. Maka hasil yang didapat memenuhi persyaratan SNI.
2.      Hasil yang diperoleh saat penentuan kadar abu pada sampel kecap padas ABC adalah .
3.      Pada analisa protein metode Kjeldahl ini ada tiga tahapan yang harus dilakukan, yaitu destruksi, netralisasi dan titrasi. Analisa yang dilakukan baru mencapai tahapan pertama yaitu tahap destruksi saja sehingga hasilnya belum diketahui. Namun, SNI 01 – 3543 -1999 mempersyaratkan bahwa kecap kedelai harus mengandung protein minimal 2,5%.
4.      Dilakukan pengujian penetapan bahan pengawet asam benzoat dan diperoleh hasil bahwa sampel kecap pedas ABC positif mengandung bahan pengawet asam benzoat yang ditandai dengan penambahan amonium sulfida menghasilkan warna merah coklat. Maka sesuai dengan komposisi kecap ABC yang tertera pada etiketnya.
5.      Hasil penentuan total padatan diperoleh kadar sebesar 19, 0327 % pada sampel 5 gram tanpa total gula dan garam. Hasil dibandingkan dengan SNI yaitu  minimal 10 % dan memenuhi syarat SNI nomor 01 – 3543 - 1999.
6.      Hasil penentuan total padatan diperoleh kadar sebesar 19, 0327 % pada sampel 5 gram tanpa total gula dan garam. Hasil dibandingkan dengan SNI yaitu  minimal 10 % dan memenuhi syarat SNI nomor 01 – 3543 - 1999.

B.     Saran
Metode yang baik dalam suatu analisi kuantitatif seharusnya memenuhi criteria yaitu peka (sensitive), presisi (precise), akurat (accurate), selektif dan praktis. Selain itu dalam pemilihan metode analisis harus memperhatikan factor-faktor yaitu tujuan analisis, macam dan jumlah bahan yang dianalisis, ketepatan dan ketelitian yang diinginkan, lamanya waktu yang diperlukan untuk analisis dan peralatan yang tersedia






















DAFTAR PUSTAKA


1.      Anonim.http://www.scribd.com/doc/14098247/Laporan-praktikum-Penentuan kadar-Abu. diakses tanggal 23 april 2012 pukul 09.00 WIB.
2.      Anonim.http://chicamayonnaise.blogspot.com/2010/02/abu-penentuan-kadar abu.html.diakses tanggal 23 april 2012 pukul 10.20 WIB.
3.      Anonim.http://eviaws.blogspot.com/2011/06/laporan-pengabuan-azg-kelompok-4-kamis.html. diakses tanggal 24 april 2012 pukul 19.20 WIB.
4.      Anonim.http://hurulsilmi.blogspot.com/2012/01/penaksiran-level-kandungan-asam-benzoat.html. diakses tanggal 24 april 2012 pukul 20.20 WIB.
5.      Anonim.http://food.detik.com/read/2011/01/31/161010/1557382/294/kecap-pedas-abc-terbaru-dari-heinz. diakses tanggal 27 april 2012 pukul 21.00
6.      Anonim.http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/j%20kim%20vol%203%20no%202%20-5.pdf diakses tanggal 27 april 2012 pukul 21.00
7.      Anonim.http://id.shvoong.com/products/2246024-manfaat-kecap kedelai/#ixzz1tEsvisl2. diakses tanggal 27 april 2012 pukul 21.00
8.      Anonim. http://rinaherowati.files.wordpress.com/2011/10/2-analisis-protein_.pdf diakses tanggal 29 april 15.00
9.      Anonim.http://chemistryismyworld.blogspot.com/2011/03/makalah-analisa-protein-metode-kjeldahl.html diakses tanggal 29 april 15.00
10.  Anonim.http://misnanidulhadi.blogspot.com/2011/03/praktikum-teknik-lingkungan-total.html diakses tanggal 29 april 15.00
11.  Anonim.http://soera.wordpress.com/2011/01/12/titrasi-argentometri-metode-mohr/ diakses tanggal 29 april 15.00
12.  Anonim. http://id.wikipedia.org/wiki/Natrium_klorida diakses tanggal 29 april 15.00
13.  Bresnick, S. D., 1994, Intisari Kimia Organik , diterjemahkan oleh Hadian Kotong, Lippincott Williams & Wilkins Inc. USA, 69.
14.  Budiyanto, M.A.K. 2002. Dasar- Dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press.
15.  De man, John M. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
16.  Feseenden dan Fessenden. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Jakarta: Binarupa Aksara.
17.  Hart, H., Craine, L. E., dan Hart, J. D.2003. Kimia Organik edisi kesebelas, diterjemahkan oleh Suminar Setiati Achmadi. Jakarta: Erlangga
18.  Jalip, IS. 2008. Praktikum Kimia Organik, Edisi  kesatu. Jakarta: Laboratorium Kimia Universitas Nasional.
19.  Nelson, N.1944. A Photometric Adaptation of The Somogyi Method For The Determination of Glucose, Journal of Biological Chemistry, 163, 375-380.
20.  Pine, S. H., J., B., Hendrickson, D., J., Cram, dan G., S., Hammond.1988. Kimia Organik 2 edisi keempat, diterjemahkan oleh Hamid A. Bandung: ITB
21.  Poedjiadi, A. 2005. Dasar-Dasar Biokimia edisi revisi. Jakarta: UI-Press
22.  Sastrohamidjojo,H .1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
23.  Sudarmadji, S., Haryono, B., dan Suhardi. 2003. Analisa Bahan makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty
24.  Winarno, F.G. 1997.  Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia  Pustaka Utama.